BINTANG

Jumat, 16 Desember 2016

ekstra kurikuler KIR

Awal pertengahan sekolah, ketika saya sudah naik kelas XI. Saya mengikuti ekstra kir. Ekstra kir dijadwalkan hari kamis. Ekstra kir sementara dibimbing oleh bu Irfatul. Untuk menggantikan bu Rindarti.saya mempunyai grup yang akan meneliti tentang obat untuk mengurangi pecandu narkoba,. Saya berpendapat obat itu terbuat dari sari buah mengkudu yang akan di campur dengan air kelapa. Tiap kelompok berjumlah 3 anak, saya mempunyai kelompok yaitu nuripah (Saya),jumiatus sholikhah,diah nur afifah.
By Nuripah
Abs.24

Kamis, 15 Desember 2016

KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR

Proses belajar-mengajar meliputi banyak hal sebagaimana yang dikemukakan oleh Adams & Decey dalam Basic Principles Of Student Teaching, antara lain guru sebagai pengajar, pemimpin kelas, pembimbing, pengatur lingkungan, partisipan, ekspeditor, perencana, suvervisor, motivator, penanya, evaluator dan konselor. a.    Guru sebagai demonstrator
      Melalui peranannya sebagai demonstrator, lecturer atau pengajar, guru hendaknya senantiasa menguasai bahan atau materi pelajaran yang akan diajarkannya serta senantiasa mengembangkannya dalam arti meningkatkan kemampuannya dalam hal ilmu yang dimilikinya karena hal ini akan sangat menetukan hasil belajar yang dicapai oleh peserta didik. Salah satu hal yang harus diperhatikan oleh guru ialah bahwa ia sendiri adalah peserta didik. Ini berarti bahwa guru harus belajar terus-menerus.
      Dengan cara demikian ia akan memperkaya dirinya dengan berbagai ilmu pengetahuan sebagai bekal dalam melaksanakan tugasnya sebagai demonstrator sehingga mampu memperagakan apa yang diajarkannya secara didaktis. Maksudnya ialah agar apa yang disampaikannya itu betul-betul dimiliki oleh peserta didik.
     b.  Guru sebagai mediator dan fasilitator
      Sebagai mediator guru hendaknya memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup tentang media pendidikan karena media pendidikan merupakan alat komunikasi guna lebih mengefektifkan proses belajar mengajar. Dengan demikian jelaslah bahwa media pendidikan merupakan dasar yang sangat diperlukan yang bersifat melengkapi dan merupakan bagian integral demi berhasilnya proses pendidikan. Sebagai fasilitator guru hendaknya mampu mengusahakan sumber belajar yang kiranya berguna serta dapat menunjang pencapaian tujuan dan proses belajarmengajar, baik yang berupa narasumber, buku teks, majalah ataupun surat kabar.
c.  Guru sebagai evaluator
      Dalam dunia pendidikan, setiap jenis pendidikan atau bentuk pendidikan pada waktu-waktu tertentu selama satu periode pendidikan akan diadakan evaluasi, artinya pada waktu-waktu tertentu selama satu periode pendidikan tadi orang selalu mengadakan penilaian terhadap hasil yang telah dicapai, baik oleh pihak terdidik maupun oleh pendidik. Penilaian perlu dilakukan, karena dengan penilaian guru dapat mengetahui keberhasilan pencapaian tujuan, penguasaan siswa terhadap pelajaran, serta ketepatan atau keefektifan metode mengajar.
 
by Gusman Arianto
Abs 12

Selasa, 13 Desember 2016

Pelajaran diSekolah Sma N 1 Kragan

By:Mukhlis Hasan

No.absen :20

PENDIDIKAN AGAMA DI SEKOLAH UMUM

Pendahuluan
Pendidikan agama Islam pada hakikatnya adalah upaya transfer nilai-nilai agama, pengetahuan dan budaya yang dilangsungkan secara berkesinambungan sehingga nilai-nilai itu dapat menjadi sumber motivasi dan aspirasi serta tolok ukur dalam perbuatan dan sikap maupun pola berpikir. Sementara tekad bangsa Indonesia yang selalu ingin kembali kepada Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen sangat kuat. Berdasarkan tekad itu pulalah maka kehidupan beragama dan pendidikan agama khususnya semakin mendapat tempat yang kuat dalam organisasi dan struktur pemerintahan.
Kelahiran pendidikan agama yang sekarang ini kita kenal menjadi mata pelajaran berakar dari pendidikan sekuler minus agama yang dikembangkan pemerintah penjajah. Usaha menghidupkan kembali eksistensi pembelajaran agama ini menemukan momentumnya setelah terbit UU No. 4 Tahun 1950 dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan Menteri Agama tanggal 16 Juli 1951 yang menjamin adanya pendidikan agama di sekolah umum.
Pembangunan Nasional memang dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia dan masyarakat Indonesia seutuhnya. Hal ini berarti adanya keserasian, keseimbangan dan keselarasan antara pembangunan bidang jasmani dan rohani antar bidang material dan spritual, antara bekal keduniaan dan ingin berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, dengan sesama manusia dan dengan lingkungan hidupnya secara seimbang. Pembangunan seperti ini menjadi pangkal tolak pembangunan bidang agama. Di sisi lain, yang menjadi sasaran pembangunan jangka panjang di bidang agama adalah terbinanya iman bangsa Indonesia kepada Tuhan Yang Maha Esa, dalam kehidupan yang selaras, seimbang dan serasi antara lahiriah dan rohaniah.
Adapun makalah sederhana ini berusaha sedikit mengupas perkembangan pendidikan agama di sekolah umum; baik dari segi perundangan, kurikulum, jam, peserta didik dan lain-lain sejak awal kemerdekaan hingga UUSPN No. 20 tahun 2003, respon masyarakat dan plus minus pendidikan agama di sekolah umum baik negeri maupun swasta.
A. Perkembangan Pendidikan Agama Di Sekolah Umum
1. Dari Segi Perundangan
Tentang pelaksanaan dan perkembangan pendidikan Agama di sekolah umum baik negeri maupun swasta setelah Indonesia merdeka di bagi ke dalam tiga fase. Fase-fase tersebut sebagaimana yang dijelaskan oleh Prof. Haidar Daulay adalah sebagai berikut:
(a) Fase Pertama: 1946 – 1965
Setelah kolonial Belanda mampu dikalahkan kolonial Jepang, maka penguasa di tanah air sepenuhnya berada di tangan kolonial Jepang. Seluruh sistem yang berlaku sebelumnya diambil alih oleh Jepang dan hal ini mengalami perubahan yang hampir dapat dikatakan mencapai 180 derajat. Satu hal yang paling penting bagi rakyat Indonesia adalah berbedanya sistem pendidikan yang dilakukan Belanda dengan Jepang.
Kondisi di atas justru membawa keberuntungan bagi bangsa Indonesia, walaupun sebenarnya apa yang dilakukan Jepang semata-mata untuk kepentingan politik, tetapi rakyat Indonesia (terutama para pemuka agama) tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Sekolah-sekolah telah diseragamkan dan dinegerikan baik sekolah swasta seperti Muhammadiyah, dan Taman Siswa, kemudian diperbolehkan terus berkembang, walaupun masih memenuhi kewajiban untuk tetap berada di bawah pengawasan dan penguasaan kolonial Jepang. Hal ini terus berjalan hingga Indonesia mampu memproklamasikan kemerdekaannya.
Selanjutnya setelah Indonesia merdeka, kondisi pendidikan agama semakin membaik, dan mendapatkan perhatian yang serius dari pihak pemerintah, baik di sekolah negeri maupun swasta. Ini dimulai dengan memberikan bantuan terhadap lembaga, sebagaimana yang dianjurkan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP) tanggal 27 Desember 1945, yang menyebutkan bahwa Madrasah dan Pesantren pada hakikatnya adalah satu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah menyumbangkan perhatian dan bantuan nyata berupa tuntunan dan bantuan material dari pemerintah.
Meskipun Indonesia baru saja memproklamirkan kemerdekaannya dan sedang menghadapi revolusi fisik, tetapi pemerintah tetap berbenah diri dalam mempertahankan masalah pendidikan yang dianggap cukup vital dan menentukan. Maka dibentuklah Kementerian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (PP dan K) dan Ki Hajar Dewantara sebagai Menterinya. Satu di antara realisasi dari pembentukan PP dan K ini adalah mengubah sistem pendidikan dan menyesuaikannya dengan keadaan yang baru. Perubahan yang terjadi dalam bidang pendidikan ini merupakan perubahan yang bersifat mendasar, yaitu perubahan yang menyangkut penyesuaian kebijakan pendidikan dengan dasar dan cita-cita bangsa Indonesia yang merdeka.
Untuk mengadakan penyesuaian dengan cita-cita tersebut, maka bidang pendidikan mengalami perubahan terutama dalam landasan idiilnya, tujuan pendidikan, sistem persekolahan dan kesempatan belajar yang diberikan kepada rakyat Indonesia. Tindakan pertama yang diambil oleh pemerintah ialah menyesuaikan pendidikan dengan tuntutan dan aspirasi rakyat sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 pasal 31 yang berbunyi: (1) Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran. Seiring dengan perjalan sejarah bangsa Indonesia, sejarah kebijakan pendidikan pun tetap mengambil posisinya, termasuk di dalamnya pendidikan Islam. Pembinaan pendidikan agama secara formal institusional dipercayakan kepada Departemen Agama dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Maka dikeluarkanlah peraturan-peraturan bersama untuk mengelola pendidikan agama di sekolah-sekolah umum baik negeri maupun swasta.
Khusus untuk mengelola pendidikan agama yang diberikan di sekolah-sekolah umum tersebut, maka pada tanggal 2 Desember 1946, diterbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri PP dan K dengan Menteri Agama, yang mengatur pelaksanaan pendidikan agama di sekolah-sekolah umum (negeri dan swasta), yang berada di bawah naungan kementerian PP dan K. Sejak saat itu terjadi semacam dualisme pendidikan di Indonesia, yaitu pendidikan Agama dan pendidikan Umum. Di satu pihak Departemen PP dan K mengelola pendidikan agama yang mendapatkan kepercayaan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional. Keadaan ini sempat dipertentangkan oleh pihak-pihak tertentu yang tidak senang dengan adanya pendidikan agama, terutama golongan komunis, sehingga ada kesan seakaan-akan pendidikan agama khususnya Islam, terpisah dari pendidikan.
Dan kemudian dilanjutkan dengan keluarnya Undang-Undang Pokok Pendidikan Nomor 4 tahun 1950 dan Undang-Undang Pendidikan Nomor 12 Tahun 1954 Bab XII pasal 20 tentang pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri , berbunyi:
1. Dalam sekolah negeri diadakan pelajaran agama; orangtua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut.
2. Cara penyelenggaran pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri diatur dalam peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan, bersama-sama dengan Menteri Agama.
Penjelasan Bab XII pasal 20 tersebut adalah sebagai berikut:
a) Apakah suatu jenis sekolah memberi pelajaran agama adalah tergantung pada umur dan kecerdasan murid-muridnya.
b) Murid-murid yang sudah dewasa boleh menetapkan ikut atau tidaknya ia dalam pelajaran agama.
c) Sifat pengajaran agama dan jumlah jam pelajaran ditetapkan dalam undang-undang tentang jenis sekolahnya.
d) Pelajaran agama tidak mempengaruhi kenaikan kelas anak.
Mengenai hak orangtua dalam hal pendidikan agama ditentukan sebagai berikut:
a) Orangtua menentukan, apakah anaknya mengikuti pelajaran agama atau tidak (untuk pelaksanannya Inspeksi Pengajaran mengeluarkan formulir untuk itu).
b) Hal yang dimaksudkan dalam poin (a) di atas adalah sesuai dengan Undang-Undang tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran, Pasal 20.
Dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1950 dinyatakan bahwa pendidikan agama diberikan di sekolah-sekolah negeri, sedangkan untuk sekolah-sekolah swasta di atur pada pasal 9 dalam instruksi bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan No.17678/Kab, tanggal 16 Juli 1951 (Pendidikan), N.K.I/9180 tanggal 16 Juli 1951 (Agama).
Sementara itu pada Peraturan Bersama Menteri PP dan K dan Menteri Agama Nomor 1432/Kab. Tanggal 20 Januari 1951 (pendidikan), Nomor K 1/652 tanggal 20 Januari 1951 (Agama) , diatur tentang peraturan pendidikan Agama di sekolah-sekolah yaitu:
Pasal 1 : Di tiap-tiap sekolah rendah dan sekolah lanjutan (umum dan kejuruan) diberi pendidikan agama.
Pasal 2 :
1. Di sekolah-sekolah rendah pendidikan agama dimulai pada kelas 4; banyaknya 2 jam dalam satu minggu.
2. Di lingkungan yang istimewa, pendidikan agama pada dimulai pada kelas 1, dan jamnya dapat ditambah menurut kebutuhan. Tetapi tidak melebihi 4 jam seminggu, dengan ketentuan bahwa mutu pengetahuan umum bagi sekolah-sekolah rendah itu tidak boleh dikurangi dibandingkan dengan sekolah-sekolah rendah lain-lain lingkungan.
Pasal 3 : Di sekolah-sekolah lanjutan tingkatan pertama dan tingkatan atas, baik sekolah-sekolah umum maupun sekolah-sekolah kejuruan, diberi pendidikan agama 2 jam dalam tiap-tiap minggu.
Pasal 4 :
1. Pendidikan agama diberikan menurut agama murid masing-masing.
2. Pendidikan agama baru diberikan pada sesuatu kelas yang mempunyai murid sekurang-kurangnya 10 orang, yang menganut suatu macam agama.
3. Murid dalam satu kelas yang memeluk agama lain dari pada agama yang sedang diajarkan pada suatu waktu, boleh meninggalkan kelasnya selama pelajaran itu.
4. Guru Agama tunduk pada peraturan yang ditetapkan oleh sekolah
6. Guru Agama wajib memahami bahwa kekuasaan tertinggi adalah kepala sekolah.
Sebagai bahan lanjutan dari peraturan bersama ini, maka pada tanggal 16 Juli 1951 dikeluarkan lagi peraturan bersama dengan nomor surat masing-masing: No. 17678/Kab, tanggal 16 Juli 1951 (Pendidikan) dan No. K/1/1980 tanggal 16 Juli 1951 (Agama). Isi dari peraturan bersama ini adalah memperbaiki Peraturan Bersama yang dikeluarkan tanggal 20 Januari 1951. Namun pada prinsipnya, kedua peraturan tersebut (baik yang dikeluarkan tanggal 15 Januari 1951, maupun yang dikeluarkan tanggal 16 Juli 1951) adalah sama halnya terdapat perbaikan pada poin khusus tanpa ada perubahan yang prinsipil.
Peraturan ini tidak hanya berlaku pada sekolah negeri saja namun juga berlaku pada sekolah-sekolah partikiler atau swasta jika yayasan/ pimpinan menghendaki.
(b) Fase kedua: 1966 – 1989
Perkembangan pendidikan agama di Indonesia pada masa Orde Baru, ditandai dengan selesainya bangsa Indonesia dalam menumpas G30 S/PKI (1965-1966). Sejak saat itu pula pemerintah Indonesia semakin menunjukkan perhatiannya terhadap pendidikan agama, sebab disadari dengan bermentalkan agama yang kuatlah bangsa Indonesia akan terhindar dari paham komunisme. Untuk merealisasikan cita-cita tersebut maka sidang umum MPRS tahun 1966 berhasil menetapkan TAP MPRS No. XXVII/MPRS/1966, pada Pasal I menetapkan pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah mulai dari Sekolah Dasar (SD) sampai universitas-universitas negeri. Sejak saat itu pendidikan Agama merupakan mata pelajaran pokok mulai dari SD sampai dengan PT dengan pengertian bahwa mata pelajaran Pendidikan Agama ikut menentukan naik/ tidaknya seorang murid.
Selanjutnya pada Pasal 4 poin (a) pada TAP MPRS tersebut juga menyatakan bahwa pendidikan agama mempertinggi mental-moral-budi pekerti dan memperkuat keyakinan beragama. Penetapan-penetapan ini semakin mengukuhkan status dan kedudukan pendidikan agama di sekolah-sekolah umum.Ketetapan MPRS ini diikuti dengan lahirnya peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 23 Oktober 1967.
(c) Fase ketiga: 1990 – sekarang
Perkembangan pendidikan di Indonesia dari waktu ke waktu terus mengalami perubahan dan pembenahan, termasuk pada bidang agama. Bahkan belakangan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional juga turut mengatur penyelenggaraan suatu sistem pendidikan nasional sebagaimana dikehendaki oleh UUD 1945. Melalui proses yang panjang dalam penyusunannya, sejak 1945 hingga 1989 tampaknya undang-undang inilah yang merupakan puncak dari pengintegrasian pendidikan Islam ke dalam sistem pendidikan nasional, yang dianggap sebagai usaha untuk menghilangkan dualisme sistem pendidikan yang selama ini masih berjalan. Karenanya masalah-masalah pendidikan terutama yang menyangkut kurikulum pendidikan, maka semuanya berada di bawah koordinasi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud). Dengan demikian berarti UU Nomor 2 tahun 1989 tersebut merupakan wadah formal terintegrasinya pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional, dan dengan wadah tersebut, pendidikan Islam mendapat peluang serta kemampuan untuk berkembang.
Kedudukan pendidikan agama semakin kuat setelah ditetapkannya tujuan pendidikan nasional dalam UU Nomor 2 tahun 1989 ini, yaitu: ”Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhru, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Pada perkembangan selanjutnya, yaitu pada Undang-Undang No. 20 tahun 2003 pada Bab II Pasal 3 dijelaskan kembali fungsi dan tujuan pendidikan nasional sebagai berikut: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.”
2. Dari Segi Kurikulum dan Jam
1) Peserta Didik
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1990 Bab VIII Pasal (16) Ayat (2) menjelaskan bahwa “Siswa mempunyai hak memperoleh pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya.” Sementara dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Bab V Pasal 12 Ayat (1) tentang Peserta Didik disebutkan bahwa Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak: (a) mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.
Baik Undang-Undang maupun peraturan pemerintah tentang peserta didik sangat jelas menentukan bahwa seluruh rakyat Indonesia berhak memperoleh pendidikan yang baik secara merata, tanpa dibedakan oleh latar belakang ekonomi dan kedudukannya dalam masyarakat. Peroleh pendidikan tersebut mencakup seluruh mata pelajaran yang diajarkan dalam satuan pendidikan, termasuk mata pelajaran agama di sekolah umum.
Mengenai pendidikan agama, Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 memberikan semacam syarat bahwa mata pelajaran agama harus diajarkan oleh pendidik (guru) yang seagama. Hal ini bertujuan agar mata pelajaran yang diajarkan tidak menyimpang dari ketentuan yang berlaku. Dan hal ini juga menunjukkan suatu sikap profesionalisme seorang guru dalam mengajar. Pada dasarnya peserta didik pendidikan agama di sekolah umum berasal dari latar belakang kehidupan beragama yang beragam. Hal ini tentu banyak dipengaruhi oleh latar belakang kehidupan beragama di lingkungan keluarga masing-masing. Untuk itu, seorang guru dan sekolah harus jeli dan mampu mencari solusi yang tepat sesuai kebutuhan peserta didik masing-masing.
2) Pendidik
Dalam Surat Keputusan Bersama antara Menteri Agama dengan Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan Nomor: 17678/Kab. tanggal 16 Juli 1951 (Pendidikan) dan No. K.I/9180 tanggal 16 Juli 1951 (Agama) pada Pasal 5 dijelaskan sebagai berikut:
1. Guru-guru agama diangkat, diberhentikan dan sebagainya oleh Menteri Agama, atas usul instansi agama yang bersangkutan.
2. Begitu pula segala biaya untuk pendidikan agama itu menjadi tanggungan Kementerian Agama.
Berdasarkan Pasal 5 Surat Keputusan Bersama di atas, maka Kementerian Agama berkewajiban untuk mengangkat dan mengadakan guru agama. Dalam hal pengangkatan guru agama ini lewat prosedur yakni guru-guru agama diangkat oleh Menteri Agama atas usul Kantor Pendidikan Agama Kabupaten, mengenai guru-guru agama Islam, Kantor Pendidikan Agama sebelumnya menyampaikan usul, diwajibkan mengadakan perhubungan dengan perserikatan-perserikatan agama Islam yang mempunyai kegiatan dalam lapangan pendidikan di daerah-daerah yang bersangkutan.
Dalam hal ini yang menjadi persoalan adalah bagaimana mendapatkan tenaga guru untuk mengajar agama di sekolah-sekolah. Untuk mengatasi ini dilakukan usaha latihan (atau semacam penataran pada masa sekarang ini) yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan guru agama dalam mengajar. Dan untuk memenuhi kebutuhan guru ini, pemerintah pada tanggal 16 Mei 1948 mendirikan Sekolah Guru dan Hakim Islam (SGHI) di Solo yang kemudian dipindahkan ke Yogyakarta. Akibat agresi Belanda II sekolah ini sempat ditutup lebih kurang satu tahun, dan kemudian pada tanggal 16 Januari 1959 dibuka kembali.
Selain itu, pada tanggal 15 Agustus 1950 Kepala Bagian Pendidikan Agama mengeluarkan Surat Edaran No. 227/C/C-9 yang berisikan anjuran pembukaan Sekolah Guru Agama Islam (SGAI) yang dibagi kepada dua bagian; yaitu 5 tahun setelah tamat Sekolah Rakyat atau Madrasah Rendah, dan 2 tahun setamat SMP atau Madrasah Lanjutan Pertama. Disamping SGAI juga dianjurkan dibuka SGHAI (Sekolah Guru dan Hakim Agama Islam) yang lama pelajarannya 4 tahun sesudah SMP atau Madrasah Tsanawiyah. Dengan penetapan Menteri Agama No. 7 tanggal 15 Februari 1951 seluruh SGAI diubah namanya menjadi PGA (Pendidikan Guru Agama) yang lama belajarnya 5 tahun setelah Sekolah Rakyat atau Madrasah Rendah. Sedangkan SGHAI diubah menjadi SGHA (Sekolah Guru dan Hakim Agama) yang lama pendidikannya 4 tahun setamat SMP atau Madrasah Tsanawiyah. Namun pada tahun 1953, Menteri Agama kembali mengeluarkan ketetapan dengan Nomor 35 tanggal 21 November 1953, yang menyebutkan bahwa lama belajar PGA diubah menjadi 6 tahun; yang terdiri dari PGAP (Pendidikan Guru Agama Pertama) 4 tahun, dan ditambah dengan PGAA (Pendidikan Guru Agama Atas) selama 2 tahun.
Semua jenis sekolah guru ini disebut juga dengan sekolah dinas, maksudnya adalah bahwa setelah lulus dari sekolah tersebut langsung diangkat menjadi pegawai negeri, hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 8 tahun 1951. Namun disebabkan kekurangan anggaran negara, sejak tahun 1969 tidak ada lagi disediakan ikatan dinas. Bahkan sekarang ini, sekolah guru ini (PGA dan sejenisnya) telah dihapuskan pemerintah. Adapun Departemen Agama menyesuaikan diri dengan sistem pendidikan yang diberlakukan secara nasional.
Adapun mengenai Pendidik dan Tenaga Kependidikan dalam UU No. 20 Tahun 2003 diatur pada Bab XI, masing-masing pada pasal 39, pasal 40, pasal 41, 42, 43 dan 44. Untuk pasal 41 tentang pendidik dan tenaga kependidikan dijelaskan sebagao berikut;
1. Pendidik dan tenaga kependidikan dapat bekerja secara lintas daerah
2. Pengangkatan, penempatan dan penyebaran pendidik dan tenaga kependidikan diatur oleh lembaga yang mengangkatnya berdasarkan kebutuhan satuan pendidikan formal
3. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memfasilitasi suatu pendidikan dengan pendidik dan tenaga kependidikan yang diperlukan untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu.
3) Kurikulum
Upaya-upaya untuk melaksanakan pendidikan agama di sekolah umum telah dimulai sejak adanya rapat Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP), yang di antara usul Badan tersebut kepada Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan adalah termasuk pengajaran agama, madrasah, dan pesantren. Adapun butir usulan Badan Pekerja tersebut adalah sebagai berikut:
Pengajaran agama hendaknya mendapat tempat yang teratur saksama, hingga cukup mendapat perhatian yang semestinya, dengan tidak mengurangi kemerdekaan golongan-golongan yang berkehendak mengikuti kepercayaan yang dipilihnya. Tentang cara melakukan ini baiklah kementerian mengadakan perundingan dengan badan pekerja. Madrasah dan pesantren-pesantren yang pada hakikatnya adalah satu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah berurat berakar dalam masyarakat Indonesia umumnya hendaklah pula mendapat perhatian dan bantuan yang nyata dengan berupa tuntutan dan bantuan material dari Pemerintah.
Sedangkan implementasi dari usulan Badan Pekerja ini adalah dengan diberlakukannya beberapa ketentuan sebagai berikut:
1. Pelajaran agama dan semua sekolah, diberikan pada jam pelajaran sekolah.
2. Para guru dibayar oleh Pemerintah.
3. Pada Sekolah Rakyat, pendidikan ini diberikan mulai kelas IV.
4. Pendidikan itu dilaksanakan seminggu sekali pada jam tertentu.
5. Para guru diangkat oleh Departemen Agama.
6. Para guru agama diharuskan juga cakap dalam pendidikan umum.
7. Pemerintah menyediakan buku untuk pendidikan agama.
8. Diadakan latihan bagi para guru agama.
9. Kualitas pesantren dan madrasah harus diperbaiki.
10. Pengajaran bahasa Arab tidak dibutuhkan.
Selanjutnya, berdasarkan ketetapan MPRS No. XXVII tahun 1966 juga turut melahirkan peraturan peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 23 Oktober 1967, dimana ditetapkan alokasi waktu mata pelajaran agama sebagai berikut:
• Kelas I dan II SD : 2 jam per minggu
• Kelas III SD : 3 jam per minggu
• Kelas IV SD : 4 jam per minggu
• SMP dan SMA : 4 jam per minggu
• Perguruan Tinggi : 2 jam per minggu
Dalam Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang Sistem Pendidikan Nasional ditemukan beberapa point tentang pendidikan Islam sebagai mata pelajaran. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989, Bab IX Pasal 39 Ayat (2) dan (3) menjelaskan sebagai berikut:
Ayat (2): Isi Kurikulum setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan wajib memuat:
a) Pendidikan Pancasila;
b) Pendidikan Agama; dan
c) Pendidikan Kewarganegaraan.
Ayat (3): Isi kurikulum pendidikan dasar memuat sekurang-kurangnya bahan kajian dan pelajaran (PP 28 Bab VII Pasal (14) Ayat (2):
1. Pendidikan Pancasila
2. Pendidikan Agama
3. Pendidikan Kewarganegaraan
4. Bahasa Indonesia
5. Membaca dan Menulis
6. Matematika (termasuk berhitung)
7. Pengantar Sains dan Teknologi
8. Ilmu Bumi
9. Sejarah Nasional dan Sejarah Umum
10. Kerajinan Tangan dan Kesenian
11. Pendidikan Jasmani dan Kesehatan
12. Menggambar
13. Bahasa Inggris.
Selanjutnya pada Undang-Undang No, 20 Tahun 2003 Bab XI tentang Kurikulum memuat tiga pasal; masing-masing pasal 36, pasal 37, dan pasal 38. Pada pasal 36 Ayat (3) dijelaskan bahwa kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan:
1. Peningkatan iman dan taqwa;
2. Peningkatan akhlak mulia;
3. Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;
4. Keragaman potensi daerah dan lingkungan;
5. Tuntutan pembangunan daerah dan nasional;
6. Tuntutan dunia kerja;
7. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
8. Agama;
9. Dinamika perkembangan global; dan
10. Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.
Sedangkan pada pasal 37 Ayat (1) disebutkan bahwa kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat:
1. Pendidikan agama;
2. Pendidikan kewarganegaraan;
3. Bahasa;
4. Matematika;
5. Ilmu pengetahuan alam;
6. Ilmu pengetahuan sosial;
7. Seni dan budaya;
8. Pendidikan jasmani dan olahraga;
9. Keterampilan/kejuruan; dan
10. Muatan lokal.
Berdasarkan ketentuan ini jelaslah betapa penting dan strategisnya kedudukan pendidikan agama di Indonesia.
B. Berbagai Respon Masyarakat Tentang Pendidikan Agama Di Sekolah Umum
Salah satu masalah yang sering dikemukakan para pengamat pendidikan Islam adalah adanya kekurangan jam pelajaran untuk pengajaran agama Islam yang disediakan di sekolah-sekolah umum. Masalah inilah yang dianggap sebagai penyebab utama timbulnya kekurangan para pelajar dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran agama. Abuddin Nata dalam bukunya Manajemen Pendidikan memberikan solusi alternatif yang dapat digunakan dalam mengatasi kekurangan jam pelajaran agama yang diberikan di sekolah. Solusi tersebut antara lain ;
1. Mengubah orientasi dan focus pengajaran agama yang semula berpusat pada pemberian pengetahuan agama dalam arti memahami dan menghafal ajaran agama sesuai kurikulum, menjadi pengajaran agama yang berorientasi pada pengalaman dan pembentukan sikap keagamaan melalui pembiasaan hidup sesuai dengan agama
2. Melakukan kegiatan ekstrakurikuler yang dirancang sesuai dengan kebutuhan dengan penekanan utamanya pada pengamalan agama dalam kehidupan sehari-hari.
3. Meningkatkan perhatian, kasih sayang, bimbingan dan pengawasan yang diberikan oleh orang tuanya di rumah.
4. Melaksanakan tradisi keislaman yang didasarkan pada al Qur’an dan al sunnah yang disertai dengan penghayatan dan pesan moral yang terkandung di dalamnya.
5. Pembinaan sikap keagamaan melalui media informasi dan komunikasi.
Sementara Mu’arif menilai bahwa hadirnya pendidikan agama yang mewarnai wajah pendidikan nasional memiliki banyak kelemahan, baik aspek sistemnya maupun metode pembelajarannya; yang kesemuanya kurang mengakomodir kepentingan-kepentingan murid dalam rangka pengembangan potensi-potensi mereka. Muarif menilai bahwa guru-guru agama dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran hanya memfokuskan diri pada penanaman nilai-nilai moral agama yang ditarnsformasikan secara langsung kepada murid-murid dengan tidak menyematkan metode dialogisdan partisipatoris. Yang terjadi kemudian, murid-murid hanya mewakili dari obyekpembelajaran statis yang menerima transformasi pengetahun dari guru. Artinya, siswa hanya dibekali teori tanpa disertakan aplikasi dan pembiasaan dalam kehidupan nyata. Sehingga pendidikan agama tidak dapat berpengaruh banyak terhadap prilaku dan moral keseharian peserta didik.
Berbeda dengan tanggapan muarif, Prof. Haidar Putra Daulay menilai bahwa pendidikan Islam secara keseluruhan di Indonesia semakin kukuh kedudukannya, apalagi setelah masuk dan inklusif dalam system pendidikan nasional yang diatur dalam UU No. 2 Tahun 1989 yang selanjutnya diatur pula serangkaian peraturan pemerintah yang berkenaan dengan pendidikan yang relevan dengan UU No. 20 Tahun 2003. Namun, – lanjut Haidar – untuk mengukuhkan eksistensi pendidikan Islam di Indonesia, maka usaha ke depan adalah bagaimana memberdayakannya dan mengembangkannya. Untuk memberdayakannya perlu dicari way out atau solusi dari berbagai problema yang sedang dihadapi; apakah itu tenaga pendidik, sarana fasilitas, kurikulum, maupun structural dan kultural.
Sehubungan dengan alokasi waktu pelajaran agama yang sedikit, Prof. Haidar menjelaskan bahwa guru dan sekolah dapat melakukan berbagai kegiatan-kegiatan di luar jam formal untuk menunjang kegiatan pendidikan agama, kegiatan itu seperti:
1) Bimbingan kehidupan beragama
2) Uswatun hasanah (suri teladan)
3) Malam ibadah
4) Pesantren kilat
5) Laboratorium pendidikan agama
6) Iklim religius, dan lain sebagainya.
C. Plus Minus Pelaksanaan Pendidikan Agama Di Sekolah Umum
Di samping sebagai sebuah tuntutan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang mengharuskan pendidikan agama wajib diajarkan di sekolah-sekolah umum, sebenarnya pelaksanaan pendidikan agama di sekolah umum tersebut baik pada masa kini maupun di masa yang akan datang masih tetap dibutuhkan. Hal ini selain karena secara fitrah manusia tidak dapat dilepaskan dari akar agama, juga pendidikan agama di sekolah dapat dijadikan penyeimbang dan alat ukur dalam rangka menciptakan manusia Indonesia yang melekatkan karakteristik takwa melalui proses pendidikan.
Meski begitu, plus-minus dalam rangka proses pelaksanaan pendidikan agama di sekolah umum ini tetap saja ada. Plus nya antara lain:
1. Bahwa pendidikan agama masih diharapkan mampu menjadi tolok ukur bagi peserta didik dalam menciptakan manusia seutuhnya yang bertaqwa dan berakhlakul karimah.
2. Dengan pendidikan agama diharapkan kepada peserta didik mampu mempertahankan diri (self dependence) dari semua tantangan kehidupan, baik dalam mempertahankan fungsi khalifah fil-ardh, harkatnya (ahsanut-taqwim), maupun dalam rangka memenuhi kebutuhan keagamaannya.
Adapun dari sisi minusnya bisa kita tinjau dari beberapa aspek, di antaranya:
1. Peserta didik berasal dari lingkungan keluarga yang beraneka ragam tingkat pemahaman, pengamalan, serta penghayatan agama. Dalam hal ini tentu ada peserta didik yang berasal dari keluarga yang sudah memiliki pemahaman dan penghayatan agama yang tinggi, namun juga ada yang berasal dari kelompok sedang dan rendah. Idealnya kelompok-kelompok tersebut harus dipisahkan agar mendapat perlakuan yang berbeda sehingga masing-masing kelompok memperoleh perhatian. Bila ini tidak dilakukan, maka pendidikan agama tidak memiliki manfaat apapun bagi peserta didik.
2. Sebagian masyarakat (baik peserta didik, orangtua, bahkan guru) masih ada yang menganggap bahwa pendidikan agama di sekolah umum sekedar mata pelajaran pelengkap saja. Akibatnya kebaradaan pendidikan agama bukan menjadi sesuatu yang prioritas, sehingga kalau pun sekiranya dihapuskan, sepertinya tidak banyak mempengaruhi eksistensi peserta didik.
3. Pendidikan agama di sekolah umum sangat bersifat marginal (belum bersifat optimal) disebabkan keadaaan guru agama yang kurang memadai, baik dilihat dari segi penguasaan materi kurikulum, kreativitas dalam menerjemahkan dan memodifikasi metode serta strategi pembelajaran, ketidaksiapan untuk berinteraksi dan membangun sinergi dengan guru mata pelajaran lain di dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah.
Penutup
Pelaksanaan dan perkembangan pendidikan Agama di sekolah umum baik negeri maupun swasta setelah Indonesia merdeka di bagi ke dalam tiga fase, yaitu;
1. Fase pertama sejak tahun 1946 – 1965; yaitu sebagai fase peletakan dasar dan pendidikan agama di sekolah umum. Fase ini dapat dikatakan sebagai fase pencarian bentuk dan masa pembinaan awal.
2. Fase kedua sejak tahun 1966 – 1989; yaitu setelah diadakan Sidang Umum MPRS/1966, TAP MPRS No. XXVII/MPRS/1966 yang pada pasal 1 menetapkan pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah mulai dari SD sampai Universitas.
3. Fase ketiga sejak tahun 1990 – sekarang; yaitu setelah ditetapkan dan diberlakukannya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU No. 2 tahun 1989) di mana pendidikan agama sebagai salah satu mata pelajaran yang wajib diberikan pada setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan.
Untuk itu, guna mewujudkan pendidikan agama yang berkualitas dan diminati, maka perlu dilakukan pembenahan, pembinaan dan pengembangan; baik dalam bidang kurikulum, metodologi, maupun kualitas pendidik. Paling tidak, dari segi kurikulum harus mampu berorientasi kepada tiga hal, yaitu: (a) tercapainya tujuan hablum minallah (hubungan dengan Allah); (b) tercapainya tujuan hablum minannas(hubungan dengan manusia); dan (c) tercapainya tujuan hablum minal-alam(hubungan dengan alam).

Jumat, 09 Desember 2016

Cara Mengelola KBM

Kegiatan belajar- mengajar adalah suatu aspek dari lingkungan sekolah yang diorganisasi. Lingkungan ini diatur dan diawasi agar kegiatan belajar terarah kepada tujuan pendidikan.
Pengawasan yang dilakukan terhadap lingkungan itu turut menentukan sejauhmana lingkungan tersebut menjadi lingkungan belajar yang baik. Lingkungan belajar yang baik adalah lingkungan yang bersifat menantang dan merangsang murid-murid untuk belajar, memberikan rasa aman dan kepuasan, serta mencapai tujuan yang diharapkan.
Pendekatan terbaik dalam mengelola kelas itu berupa perbuatan keputusan-keputusan yang direncanakan, bukan keputusan-keputusan spontan yang diambil dalam keadaan darurat. Jika seorang guru, dalam keadaan marah atau frustasi, menyuruh seorang siswa menghadap Kepala Sekolah dan di situ ditegur, mungkin si guru setelah tenang kembali, merasa bahwa hukuman tersebut terlalu berat. Apabila kelak tidak terjadi lagi pelangaran serupa oleh siswa lain, Jika demikian, ia bertindak tidak adil, tetapi jika tidak demikian, ia tidak konsisten. Biasanya antisipasi terhadap timbulnya masalah-masalah di kelas akan menolong guru terhindar dari dilema-dilema seperti itu, maka diperlukan sebuah perencanaan pengelolaan kegiatan belajar mengajar sebelum kegiatan belajar mengajar.[3]
Kualitas dan kuantitas belajar murid di dalam proses belajar-mengajar bergantung pada banyak faktor, antara lain murid-murid di dalam kelas, bahan-bahan pelajaran, perlengakapan belajar, kondisi umum dan suasana di dalam proses belajar-mengajar. Adapun faktor-faktor lainnya yang dapat mendukung terciptanya kondisi belajar yang baik di dalam kelas adalah persiapan apa yang akan dilakukan (job description) selama proses belajar-mengajar yang memuat suatu rangkaian pengertian peristiwa belajar yang dilakukan oleh kelimpok-kelompok siswa. Sehubungan dengan itu job description guru dalam pengelolaan proses belajar-mengajar adalah:
1)      Perencanaan instruksional, yaitu alat atau media untuk mengarahkan kegiatan-kegiatan organisasi belajar.
2)      Organisasi belajar yang merupakan usaha menciptakan wadah dan fasilitas atau lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan dan yang mengandung terciptanya proses belajar-mengajar.
3)      Menggerakkan peserta didik yang merupakan usaha memancing, membangkitkan, dan mengarahkan motivasi belajar peserta didik.
4)      Supervisi dan pengawasan, yaitu usaha mengawasi, menunjang, membantu, menugaskan, dan mengarahkan kegiatan belajar peserta didik sesuai dengan perencanaan instruksional yang telah didesain.
5)      Penilaian yang lebih bersifat assessment (penaksiran/ penilaian situasi) yang mengandung pengertian yang lebih luas dibanding dengan pengukuran atau evaluasi pendidikan.
Proses pengelolaan KBM sangat halus dan tidak terpisah sehingga tidak dapat dianalisis ke dalam komponen-komponen karena proses pengelolaan kelas merupakan keseluruhan yang tak dapat dibagi-bagi.
Berbagai upaya telah diusahakan untuk menganaisis proses pengelolaan KBM ke dalam unsur-unsur komponennya, adapun komponen-komponen tersebut adalah:
a)      Perencanaan (yang meliputi penciptaan, penyusuna program, dan perumusan kegiatan),
1)      Menetapkan apa yang dikerjakan, kapan, dan bagaimana cara melakukannya.
2)      Membatasi sasaran dan menetapkan pelaksanaan-pelaksanaan kerja untuk mencapai keefektifan maksimum melalui proses penentuan terget.
3)      Mengembangkan alternatif-alternatif.
4)      Mengumpulkan dan menganalisis informasi.
5)      Mempersiapkan dan mengomunikasikan rencana dan keputusan-keputusan.
b)      Pengorganisasian ( yang meliputi pemanfaatan sumber dan pembagian tugas),
1)      Menyediakan fasilitas, perlengakapan, dan tenaga kerja yang diperlukan untuk penyusunan kerangka yang efisien dalam melaksanakan rencana melalui proses penetapan kerja yang diperlukan untuk menyelesaikan rencana-rencana tadi.
2)      Mengelompokkan komponen kerja kedalam struktur organisasi secara teratur.
3)      Membentuk struktur wewenang dan mekanisme koordinasi.
4)      Merumuskan dan menentukan metode dan prosedur.
5)      Memilih, mengadakan latihan dan pendidikan tenaga kerja, serta mencari sumber-sumber lainnya yang diperlukan.
c)      Pengarahan ( yang meliputi motivasi, supervisi, dan koordinasi),
1)      Menyusun kerangka waktu dan biaya yang terinci.
2)      Memprakarsai dan menampilkan kepemimpina dalam melaksanankan rencana-rencana dengan pengambilan keputusan-keputusan.
3)      Mengeluarkan instruksi-instrusi yang spesifik.
4)      Membimbing, memotivasi, dan memantau keadaan lapangan langsung.
d)     Pengawasan (yang meliputi penganggaran, pelapor, dan evaluasi)
1)      Mengevaluasi pekerjaan dibandingkan dengan rencana.
2)      Melaporkan penyimpangan-penyimpangan dalam suatu waktu untuk tindakan koreksi dan mengajukan cara tindakan koreksi dengan membuat standar-standar dan sasaran-sasaran.
3)      Menilai pekerjaan dan mengoreksi penyimpangan-penyimpangan


 by Aris M. Fauzi
Abs. 4

ekstra kurikuler batik

Sejak diakui dan ditetapkannya batik sebagai warisan budaya Indonesia oleh Unesco pada 2 Oktober 2009, batik menjadi dresscode di hampir seluruh pelosok negeri ini. Walaupun tentu saja masih perlu dipertanyakan apakah semua yang dikenakan memang benar batik.
    Berbarengan dengan demam batik pasca pengakuan dan penetapan tersebut membuat batik tulis pun menjadi salah satu kegiatan ekstra kurikuler di berbagai sekolah, terutama di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah. Kegiatan ini menarik minat siswa, mulai SD hingga SLTA.
    Salah satu sekolah yang menjadikan membuat batik tulis sebagai salah satu kegiatan ekstra kurikuler adalah SMP Negeri 3 Sewon, Bantul, DIY.
    Di sekolah yang terletak di tengah dusun Kaliputih, Pendowoharjo, Sewon, ini kegiatan membuat batik tulis diberikan kepada siswa kelas 1 (VII) hingga kelas 3 (IX).
    Yang menarik, untuk siswa kelas 3 atau kelas IX, proyek membuat batik tulis bukan sekadar untuk mendapat nilai dari guru seni. Proyek anak-anak kelas 3 ini, laki-laki maupun perempuan, tak main-main: yaitu setiap anak membuat batik tulis di selembar kain berukuran 105/110 x 200 cm, kemudian batik tulis ini dijadikan baju seragam masing-masing.
     Proyek membuat batik tulis untuk seragam sendiri ini dimulai September 2012 lalu dan sebagian besar siswa bisa menyelesaikan seluruh proses pada bulan Oktober. Bantuan dari guru hanya pada membuat gambar master (dipakai untuk pola semua) yang kemudian digandakan oleh masing-masing siswa dan proses peracikan pewarna dan proses pencelupan.
     Pekerjaan selebihnya, mulai menggambar pola (nyoret atau molani), nglowong (membuat outline di gambar pola dengan malam yang ditorehkan menggunakan canthing), nyecek (memberi titik-titik), nyelup (mencelup ke pewarna), nembok (menutup dengan malam bagian yang akan dipertahankan warnanya), mencelup lagi, hingga nglorod (melepas malam dengan mencelup-celupkan di air mendidih) dilakukan anak-anak. Untuk mencelup dan nglorod ada yang melakukannya secara berkelompok. Cara berkelompok memang lebih ekonomis, lebih hemat.
     Wajah-wajah senang terlihat ketika batik yang telah selesai di-lorod kering. Pada saat itulah hasil akhir dari kerja susah payah mereka bisa terlihat, yaitu selembar kain batik tulis. Dan ini tinggal dibawa ke penjahit untuk dijadikan selembar baju seragam. Inilah seragam batik tulis karya sendiri. Karya anak-anak.
      Maka, dengan cara seperti ini ekskul membuat batik tulis pun tidak sekadar mengenalkan siswa kepada teknik membatik, tapi lebih dari itu memberikan kebanggaan kepada mereka bahwa mereka bisa menghasilkan karya yang tak kalah dengan para pembatik. Apalagi, karya ini mereka pakai sebagai seragam kebanggaan


by Siti Shofiyanah
Abs. 29

Ekstra Kurikuler KIR

Kir. Ekstra kir dapat meningkatkan kreativitas dan kemampuan siswa dalam pengetahuan tentang alam.kir dibimbing oleh bu irfatul chusniyah. Dalam KIR di bagi menjadi beberapa kelompok, Dan saya mendapat kelompok dengan beranggota 3 anak yaitu saya,nur rikayati,siti lisma wahyu s. Kelompok saya akan membuat karya tentang cermai yang berfungsi sebagai penghalus kulit,menguruskan badan,dll. Tujuan saya mengikuti ekstra kir adalah supaya saya bisa mengetahui dan meningkatkan kreativitas saya.

By Siti Nikmatus Sholikhah
Abs. 27

Proses belajar mengajar di kelas

Untuk memperjelas pemahaman terhadap proses belajar mengajar, kiranya perlu penulis awali dengan menguraikan pengertian belajar secara umum. Secara umum belajar dapat diartikan sebagai suatu perubahan tingkah laku yang relatif menetap yang terjadi sebagai hasil dari pengalaman atau latihan.11 Yang dimaksud pengalaman adalah segala kejadian (peristiwa) yang secara sengaja maupun tidak sengaja dialami oleh setiap orang, sedangkan latihan merupakan kejadian yang dengan sengaja dilakukan oleh setiap orang secara berulang-ulang.
Dalam pengertian lainnya, belajar adalah modifikasi atau memperteguh kelakuan melalui pengalaman (leaning is defined as the modification or strengthening of behavior though experiencing), menurut pengertian ini, belajar merupakan suatu proses, suatu kegiatan dan bukan suatu hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya mengingat, akan tetapi lebih luas dari itu yakni mengalami. Hasil belajar bukan suatu penguasaan hasil latihan melainkan pengubahan kelakuan.12
Dengan demikian belajar bukan hanya berupa kegiatan mempelajari suatu mata pelajaran di rumah atau di sekolah secara formal. Disamping itu belajar merupakan masalahnya setiap orang. Hampir semua kecakapan, ketrampilan, pengetahuan, kebiasaan, kegemaran, dan sikap manusia terbentuk, dimodifikasi dan berkembang karena belajar. Kegiatan yang disebut belajar dapat terjadi dimana-mana, baik di lingkungan keluarga, masyarakat maupun di lembaga pendidikan formal. Di lembaga pendidikan formal usaha-usaha dilakukan untuk menyajikan pengalaman belajar bagi anak didik agar mereka belajar hal-hal yang relevan baik bagi kebudayaan maupun bagi diri masing-masing.
Sehingga dapat diketahui ciri-ciri kegiatan yang disebut belajar yaitu :
  1. Belajar adalah aktifitas yang menghasilkan perubahan pada diri individu yang belajar (dalam arti behavioral changes), baik aktual maupun potensial.
  2. Perubahan itu pada pokoknya adalah didapatkannya kemampuan baru, yang berlaku dalam waktu yang relatif lama.
  3. Perubahan itu terjadi karena usaha.
Adapun mengajar pada dasarnya merupakan suatu kegiatan bertujuan dengan pengertian kegiatan yang terikat oleh tujuan dan dilaksanakan untuk  pencapaian tujuan serta terarah pada tujuan. Jadi mengajar dapat dikatakan berhasil apabila anak-anak belajar sebagai akibat usaha mengajar itu. Oleh karena itu disini perlu penulis kemukakan pengertian mengajar yang dikemukakan oleh para ahli antara lain :
  1. Mengajar adalah usaha guru membimbing, mengarahkan atau mengorganisir belajar. Mengajar adalah suatu rangkaian kegiatan menyampaikan bahan pelajaran kepada siswa agar ia dapat menerima, memahami, menaggapi, menghayati, memiliki, menguasai dan mengembangkannya. Jadi mengajar itu mempunyai tujuan antara lain agar siswa dapat memperoleh pengetahuan, kemudian dapat pula mengambangkan pengetahuan itu. 13
  2. Mengajar adalah usaha guru untuk menciptakan kondisi-kondisi atau mengatur lingkungan sedemikian rupa, sehingga terjadi interaksi antara siswa dan lingkungannya, termasuk guru, alat pelajaran dan sebagainya yang disebut proses belajar, sehingga tercapai tujuan pelajaran yang telah ditentukan.14
  3. Rumusan lain menyatakan bahwa mengajar adalah menanamkan pengetahuan pada anak. Mengajar adalah menyampaikan kebudayaan pada anak. Mengajar adalah suatu aktifitas mengorganisasi atau mengatur lingkungan sebaik-baiknya dan menghubungkannya dengan anak sehingga terjadi proses belajar.15
Dari rumusan pengertian mengajar tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa kegiatan mengajar bukan hanya berpusat pada guru (teacher-centered) tetapi juga pada aktifitas anak didik (pupil centered) dalam arti anak tidak bersifat pasif tetapi justru aktifitasnya yang diharapkan nampak dari hasil mengajar guru. Dalam hal ini guru berperan sebagai manager of learning, guru berperan sebagai fasilitator. 16
Dengan demikian maka yang dimaksud proses belajar mengajar adalah proses mengorganisasi tujuan, bahan, metode dan alat serta penilaian sehingga satu sama lain saling berhubungan dan saling berpengaruh sehingga menumbuhkan kegiatan belajar pada diri peserta didik seoptimal mungkin menuju terjadinya perubahan tingkah laku sesuai dengan tujuan yang diharapkan. 17
Proses belajar mengajar juga merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai suatu tujuan tertentu. 18
Sementara itu Benyamin S. Bloom dalam bukunya The Taxonomy of Education Objective-Cognitive Domain (Bloom et al, 1956) menyatakan bahwa dalam proses belajar mengajar akan dapat diperoleh kemampuan yang terdiri dari 3 aspek, yaitu:
                        a)       Aspek pengetahuan (Cognitive).
                        b)      Aspek sikap (Affective).
                        c)       Aspek ketrampilan (Psychomotor). 19
Aspek cognitive berhubungan dengan kemampuan individual mengenai dunia sekitar, meliputi perkembangan intelektual atau mental. Aspek affective mengenai perkembangan sikap, perasaan, nilai-nilai (perkembangan emosional dan moral). Sedangkan aspek psychomotor menyangkut perkembangan ketrampilan yang mengandung unsur motoris. Ketiga aspek itu secara sederhana dapat dipandang sebagai aspek yang bertalian dengan "head" (aspek kognitif), "heart" (affective) dan "hand" (psychomotor), yang ketiganya saling berhubungan erat, tidak terpisah satu dengan lainnya.  20.
Tiap-tiap aspek terdiri dari urutan yang disebut taxsonomy yang berupa tujuan pendidikan yang harus dicapai dalam situasi belajar mengajar. Misalnya : untuk memperoleh ijazah SMTP atau SMTA, harus melalui kelas I, kelas II, kelas III dan dengan mengikuti EBTA. Tidak mungkin mencapai tujuan C tanpa melalui pencapaian tujuan B dan tidak mungkin pula mencapai tujuan B tanpa terlebih dahulu mencapai tujuan A.


by Fahmi Nur Hidayah
Abs. 9